Kepala MI Akhlaqiyah Menjadi Narasumber dalam Webinar Nasional tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Tengah Pandemi

Di tengah pandemi COVID 19 yang belum juga membaik, tentu berdampak pada penyelenggaraan pendidikan. Tak kalah penting adalah penyelenggaraan pendidikan islam baik formal maupun non formal. Bagaimana praktik baik penyelenggaraan pendidikan islam di tengah pandemi seperti ini, tentu menjadi PR bagi kita bersama untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pendidikan agar dapat memenuhi dan memfasilitasi kebutuhan siswa.

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo bekerjasama dengan MUI Kota Semarang pada Jumat, 20 November 2020 menyelenggarakan Webinar Nasional tentang hal itu, dengan mengusung tema “Optimalisasi Penyelenggaraan Pendidikan Islam Formal dan Non Formal pada Era New Normal: Upaya Mencari Solusi Kini dan Kedepan”. 


Webinar tersebut menghadirkan narasumber yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Dr. H. Ismail, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang menyatakan sengaja menghadirkan beberapa tokoh dan praktisi dari berbagai latar belakang sebagai tanggung jawab dan kontribusi menyelesaikan masalah kompleks akibat pandemi ini. “Kami tertantang untuk menyelenggarakan webinar agar ada pencerahan dan solusi dari berbagai perspektif, mulai ahli teknologi informasi, ahli kebijakan, ahli kesehatan dan praktisi pendidikan," jelasnya.


Moh. Miftahul Arief, S.Pd.I., M.Pd. kepala MI Miftahul Akhlaqiyah Semaarang turut hadir sebagai salah satu narasumber dalam webinar tersebut. Kiprahnya sebagai praktisi pendidikan membawa sekolah yang ia pimpin sebagai penerima award Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI atas Praktik Baik Pembelajaran di Masa Pandemi. Pada webinar tersebut ia memaparkan bagaimana praktik baik penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya. 

Sebagai praktisi pendidikan ia merasakan langsung dampak pandemi di sekolahnya, “Negatifnya di tempat kami masih ada beberapa wali murid masih sulit sesuaikan pendampingan anaknya, selain itu di antara mereka ada yang masih memiliki stigma pembelajaran daring boros anggaran,” tegas Miftahul Arief. Adapun dampak positif yang dirasakan di sekolahnya yaitu guru lebih melek teknologi dan mahir membuat konten pembelajaran yang bisa dijadikan salah satu sumber belajar bagi siswa seperti video pembelajaran. Selain itu, ia juga menyampaiakan bahwa program kehumasan dan strategi branding lebih mudah dan murah via media sosial.

Hasan Habibie, ST., M.Si. narasumber yang berbicara dari perspektif teknologi informasi memandang perlu adanya solusi terkait kekhawatiran tersebut, misalnya pemanfaatan internet untuk metode pembelajaran secara jarak jauh dan siaran pendidikan melalui radio dan televisi. Namun, selanjutnya muncul beberapa tantangan yang mesti dihadapi seperti ketimpangan teknologi antara sekolah di kota besar dan daerah yang tidak bisa diselesaikan dengan cepat. 


“Ketersediaan infrastruktur pada beberapa daerah di Indonesia merupakan problem pelik yang tidak bisa diselesaikan setahun dua tahun,” tegasnya. Tantangan lainnya adalah keterbatasan kompetensi guru dalam pemanfaatan aplikasi pembelajaran, keterbatasan sumberdaya untuk pemanfaatan teknologi pendidikan seperti internet dan kuota, dan relasi guru, siswa, dan orang tua dalam pembelajaran daring yang belum terakomodasi.

Dirinya juga berharap semua pihak terutama guru dan dosen untuk memahami perubahan budaya saat pandemi ini. “Saat bicara teknologi era pandemi, yang paling vital adalah perubahan budaya, karena dampak situasi ini dirasakan oleh guru dan dosen” sambungnya. Saat ini menurutnya banyak doktor dan profesor yang masuk kategori digital immigrant, artinya dunianya lebih ke buku, penelitian dan jurnal dan dilakukan secara klasikal. Berbeda dengan anak-anak yang mana mereka merupakan digital native, yang berarti dunianya adalah bermain gadget, sosial media, game online dan sekarang dipaksa untuk melakukan pembelajaran secara online.


Sementara narasumber lain, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. KH. Waryono, M.Ag memandang bahwa yang paling terdampak saat era pandemi ini adalah adalah pondok pesantren, mengingat pesantren harus menyesuaikan perubahan budaya terkait protokol kesehatan terutama menerapkan physical distancing. 

“Protokol kesehatan mengharuskan adanya physical distancing, padahal di pesantren satu kamar saja bisa diisi oleh beberapa orang, saya sendiri dulu mondok sekamar saya isinya  20 orang” jelasnya. Selain itu di pesantren beberapa kegiatan dilakukan berkelompok, seperti kegiatan istighosah, mengaji bandongan, makan bersama dan lain sebagainya. Tantangan lain di lingkungan pesantren adalah infrastruktur pesantren seperti sanitasi, “fasilitas MCK dan dapur yang dimiliki pesantren kadang terbatas dan tidak sesuai dengan rasio jumlah santri,” sambungnya.


Menurutnya dalam surat keputusan bersama 4 menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran TA 2020/2021 pada Masa Pandemi COVID-19, SKB empat lembaga pesantren memang dikecualikan, karena tidak seperti sekolah dan madrasah yang memungkinkan lockdown dan belajar dari rumah, Dari sisi pembelajaran misalnya, yang tidak bisa dilakukan oleh semua pesantren. 

“Pembelajaran daring dilakukan pada sekitar 14 ribu pesantren, padahal kita ada 31.000 pesantren, jadi separuhnya tatap muka,” tegasnya. Namun dirinya bersyukur bahwa berdasarkan survei kemenkes, kini  hampir 90 persen pesantren telah memiliki gugus tugas, artinya pendidikan formal dan non formal pesantren tetap berjalan dengan mengikuti protokol kesehatan yang dikawal gugus tugas pesantren ini.


dr. Riskiyana Sukandhi Putra, M.Kes. Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI dalam slide-nya memaparkan strategi yang harus dilakukan terkait kampus sehat dan Health Promoting University (HPU). Strategi tersebut tertuang pada lima hal, yaitu komitmen dan kebijakan pimpinan Universitas, kegiatan akademik tentang kesehatan (pendidikan dan penelitian), peningkatan kapasitas individu untuk hidup sehat, staf universitas dan mahasiswa yang sehat, lingkungan sosial dan fisik yang mendukung perilaku sehat. ar